Thursday, November 16, 2006

“Menikah Tanpa Kencan”


Jumat, 22 September 2006
Meski dikepung dengan budaya Barat, Muslim Amerika masih mampu bertahan dengan tradisi Islam. Salah satunya adalah mengganti “kencan” dengan “perjodohan”
Hidayatullah.com—Samia Abbas, (59) asli Alexandria, Mesir, buru-buru melihat siapa yang ditemui putrinya, Alia, (29). “Apakah dia harus orang Mesir?”, ujarnya. “Saya ibunya jadi sudah pasti saya mencarikannya jodoh,” kata Nyonya Abbas, yang ikut menentukan kriteria yang diinginkan untuk jodoh putrinya, seperti baik hati, tampan, punya pendidikan setinggi putrinya dan seorang Muslim yang baik." “Ibuku itu ada-ada saja!” kata Alia sambil tertawa. Alia adalah seorang manajer teknologi untuk sebuah perusahaan yang berbasis di New York. Ia adalah orang yang bersemangat. Tidak ada ketentuan harus “made in New York”. “Sepupunya yang lebih muda dari Alia sekarang sudah memiliki anak!” seru sang ibu, sambil memutar nomor telepon kerabatnya supaya menghalangi calon-calon lain." Ada banyak kisah menarik pencarian jodoh komunitas Islam di Amerika. Ada sepasang doktor dari Chicago yang bertemu di perjamuan perjodohan 2 tahun lalu. Para pengelola dengan bangga mengatakan bahwa mereka berhasil menikakan setidaknya 25 pasangan dalam kurun waktu 6 tahun. Fatima Alim, (50), kecewa berat ketika anak lelakinya, Suehaib, (26), seorang apoteker, tidak bertemu “orang spesial” di hari pertamanya. Mereka terbang dari Boston khusus untuk menghadiri acara perjamuan ini, Fatima mengkalkulasi, kemungkinan anaknya dapat jodoh adalah 50:50. Saat tiba di Texas, Fatima masih berusia 23 tahun dan dia menikah lewat jalur perjodohan. Nyonya Alim iri pada`gadis-gadis di sekitarnya, terpesona oleh perbincangan seputar aktivitas hura-hura mereka dengan pacar-pacar mereka, bahkan jika dia akhirnya shock mendengar betapa cepatnya mereka berganti pasangan dan betapa mudahnya mereka cerai. Namun Nyonya Alim tetap memutuskan bahwa anak-anaknya harus memilih sendiri calon pasangannya. “Kami menginginkan seorang gadis Muslim yang baik, moderat, bukan gadis yang terlalu modern,” kata Nyonya Alim. “Nilai-nilai yang ada dalam keluarga yang saya inginkan adalah kembali bke rumah (keluarga). Angka perceraian tinggi karena korupsi, bercampur-baurnya antara pria dan wanita.” Bagi Tuan Alim, suami Nyonya Alim, menentang usulan dari orangtuanya untuk mencarikannya gadis baik-baik dari Pakistan dan Tuan Alim juga harus kembali ke Pakistan. Banyak yang menolak pendekatan semacam itu, sebab mereka sudah merasa bahwa diri mereka adalah Amerika dan sulit sekali memperoleh visa untuk ke Amerika sejak tragedi 11 September. Dan mereka ingin tetap tinggal di Amerika. Alim, anak lelaki Nyonya Fatima mengatakan bahwa dia masih percaya pada apa yang telah diajarkan sejak kecil, bahwa sex sebelum menikah itu dosa, namun dia ingin menikahi seorang teman Muslim Amerika tak peduli betapapun sulit menemukannya. “Saya pikir saya sanggup bertahan tidak memiliki istri dulu beberapa tahun mendatang,” katanya sambil tersenyum. “Makin cepat makin baik, namun saya pikir saya dapat menunggu. Saya harap di usia 30 tahun saya bisa menikah, meskipun usia segitu termasuk telat.”Kencan KilatBanyak Muslim Amerika, atau setidaknya mereka yang tetap menjaga tradisi Islam menyamakan segala hal yang berkaitan dengan “pacaran” dengan siksa neraka, tak peduli meskipun kencan (masa pacaran) mereka sangat singkat. Oleh karena itu pembahasan mengenai kencan kilat dalam konferensi Muslim tahunan di Amerika Utara adalah yang paling ramai dibicarakan. Untuk lebih memperhalus, nama pembahasan itu diganti dengan “perjamuan yang berkaitan dengan nikah.Baik perjamuan maupun beragam seminar yang berkaitan dengannya di selenggarakan awal bulan September. Beragam seminar itu menekankan kesulitan yang harus dihadapi keluarga Muslim Amerika yang megharuskan mereka untuk menerima konsep “kencan”. Salah satu seminar yang diberi nama “kencan”, berjanji membantu para audien yang hadir dengan memberikan petunjuk serta gambaran bagaimana sebaiknya keluarga Muslim Amerika berjuang melindungi anak-anak mereka agar tidak terjebak dalam konsep “kencan” yang menyesatkan tersebut. Ratusan pasangan menghadiri seminar kencan tertawa lepas ketika Imam Muhamed Magid dari Adams Center, yang merupakan kumpulan dari 7 masjid di Virginia. Ia memberikan instruksi mendasar bahwa orangtua Muslim hendaknya memberikan pengarahan kepada anak-anaknya yang telah beranjak dewasa, khususnya anak lelaki. “Jangan ngobrol dengan gadis-gadis Muslim, kecuali kau akan menikahinya. Untuk gadis-gadis non-Muslim, ngobrollah dengan mereka, tapi jangan pernah membawa satu pun ke rumah. “Anak-anak ini tumbuh di Amerika, dimana norma sosial di sana membolehkan berhubungan seks sebelum menikah,” kata Imam Magid dalam sebuah wawancara. “Jadi anak-anak ini terjebak diantara konsep ideal orangtua mereka dan keterbukaan budaya terhadap persoalan seks.” Banyak pertanyaan muncul di seminar, yang merefleksikan keprihatinan banyak Muslim Amerika terhadap persoalan pergaulan. Salah satu lelaki paruh baya yang hadir di seminar itu kaget ketika anak lelakinya yang berusia 32 tahun mengumumkan maksud hatinya menikahi seorang wanita Katholik Roma. Para panelis memperingatkan, bahkan saling berkirim email ataupun kencan lewat internet berbahaya bisa menghancurkan salah satu pilar Islam jika kita kurang waspada. “Seluruh perangkap setan ini menarik kita ke dalamnya dan kita bahkan tidak sadar apa yang sedang kita lakukan,” kata Ameena Jandali, moderator seminar kencan iniOleh karena itu perlu untuk mengemasnya dengan beragam alternative yang bisa diterima di Amerika Utara, khususnya bagi keluarga dari Pakistan, India, dan Bangladesh, yang memiliki tradisi panjang mengenai perjodohan. Salah seorang panelis, Yasmeen Qadri, mengusulkan agar para ibu Muslim di seluruh benua bersatu-padu membentuk sebuah organisasi bernama “Para Ibu Menentang Kencan,” yang diadopsi dari “Para Ibu Menentang Menyetir dalam Keadaan Mabuk.” Jika tema “perjodohan” terlalu ekstrim bagi generasi muda, katanya, mungkin pada prakteknya bisa dbuat simple dan berbau Amerika dengan menamakannya “menikah dengan bantuan,” layaknya seperti bantuan rumah bagi manula. “Di AS kita dapat bermain dengan kata-kata sesuai keinginan kita, namun kita tidak ingin keluar dari lepas dari nilai-nilai budaya kita,” kata Nyonya Qadri, seorang professor di bidang pendidikan." Pada dasarnya, bagi Muslim konservatif, kencan merupakan penghalusan dari seks sebelum nikah. Siapapun yang mengambil resiko ini diragukan moralnya, dengan prospek pernikahan yang tidak jauh dari moralnya. Resiko ini lebih banyak menimpa kaum wanita. Nyonya Qadri dan panelis lain melihat model seperti ini telah lumrah di Amerika. Di mana para pemuda memilih sendiri pasangannya, namun orangtua dilibatkan di akhir-akhir saja. Melibatkan keluarga bisa membantu mengurangi tingkat perceraian, kata Imam Majid, yang menyebutkan sebuah studi informal yang mengindikasikan bahwa sepertiga pernikahan Muslim di AS berakhir dengan perceraian. Angka ini memang terlalu tinggi, namun lebih rendah dari rata-rata seluruh orang Amerika yang bercerai. Pernikahan antar agama di luar Islam memang terjadi, namun masih relative jarang, tambah seorang Imam Majid. Alasan para orangtua memilih cara yang ditunjukkan dalam perjamuan perjodohan adalah agar bisa mendampingi anak-anaknya. Banyak diantaranya yang memakai cara perjodohan-menikah dnegan pasangan yang dipilihkan orangtuanya. Mereka menganggap tradisi ini di AS sendiri tak dapat dipertahankan, namun masih punya pengaruh dalam proses menuju ke pernikahan. Perjamuan itu sendiri dianggap sebagai salah satu alternatif yang lebih baik daripada mencari jodoh lewat internet, meskipun mencari jodoh lewat internet merupakan hal yang sangat umum terjadi. Menarik PerhatianBagaimanapun juga, fenomena ‘perjodohan’ sebelum menikah tidak diragukan lagi menjadi salah satu tema yang mendapat perhatian besar dalam pertemuan tahunan Islamic Society di Amerika Utara beberapa saat lalu. Bahkan menarik perhatian ratusan Muslim untuk pergi ke Chicago saat libur Hari Buruh. Harap tahu, jamuan seperti ini tidak gratis. Jamuan dengan maksimal jumlah peserta lelaki 150 orang dan wanita 150. Tiap orang dikenai biaya $55. Setiap meja diisi 10 kursi dan para pria berkeliling setiap 7 menit. Di akhir acara disediakan sesi sosial. Pada sesi ini partisipan diizinkan mengumpulkan alamat email dan nomor telepon sambil menikmati makan malam dengan sajian pasta dan soda (Muslim dilarang minum alkohol)Para pengelola acara mengatakan banyak wanita yang meminta kepada para sang pria agar melakukan pendekatan ke keluarga si wanita terlebih dahulu. Beberapa keluarga menerima pasangan calon pengantin berjumpa di ruang public, sebagian lagi tidak. Beberapa tahun lalu para pengelola terpaksa menentukan batas waktu satu orangtua untuk satu partisipan dan memisahkan mereka hingga tiba sesi social karena terlalu banyak intervensi. Sekarang ini para orangtua dikumpulkan dalam satu aula, dimana mereka bergantian melihat siapa yang bertemu atau bertukar foto dan nomor telepon dengan anak mereka. Namun untuk mengenal satu dengan yang lain, kadang ada yang merasa tidaklah terlalu cukup. “Untuk mengetahui seseorang dalam waktu 7 menit tidaklah cukup,” cibir Awila Siddique (46), sambil meyakinkan bahwa lebih baik menghubungi via ibu-ibu lain." Apalagi, jika dia adalah orang yang pemalu, seperti Awila. [kart, dari The New York Times]


No comments: