Monday, November 06, 2006

Seni? bagimana ya...


Seni tidak dibicarakan dalam wilayah fikih. Yang membicarakan seni dalam Islam adalah tasawuf, atau wilayah estetika dan metafisika Islam. Karena itu, yang berbicara dan mempraktekkan seni adalah kaum sufi atau yang memiliki hubungan dengan tarekat-tarekat sufi yang telah dilaksanakan secara turun-temurun dalam waktu yang lama.Fikih seni tidak didasarkan pada sumber-sumber yang cukup kuat. Padahal orang Islam sudah berkesenian sejak zaman Nabi Muhammad, ketika beliau hijrah ke Madinah. Juga banyak bentuk-bentuk kesenian Arab pra-Islam yang diadopsi Islam, seperti kasidah, baik dalam bentuk puisi maupun nyanyian. Kasidah adalah tradisi orang-orang Arab sebelum Islam. Islam datang tidak untuk menghancurkan seni. Karena seni dan instrumennya, seperti gitar misalnya, adalah netral. Tergantung apakah kita bisa memasukkan nilai di instrumen-instrumen itu atau tidak.
Ada beberapa hadis yang menyatakan larangan bermain suling dan gitar, Menyangkut persoalan tersebut, para ahli fikih terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengatakan bahwa ada alat-alat musik tertentu yang diharamkan, seperti suling, biola dan lain-lain, dan sebagian dibolehkan, yaitu alat-alat tetabuhan, seperti beduk atau kendang. Kelompok kedua lebih melihat realitas. Mereka meyakini bahwa soal musik adalah soal budaya. Islam bukannya milik bangsa Arab saja. Setiap bangsa memiliki tradisi musik yang berbeda-beda. Setelah Islam datang, tradisi musik tersebut tetap dikembangkan dan tidak dimusuhi, dan Islam masuk justru memberi semangat dan nilai baru.
Yang membedakan seni Islam dengan seni yang lain adalah bagian dalamnya, yaitu landasan estetikanya. Atau juga sistem nilai yang dikandung di dalamnya. Misalnya di dalam Islam, musik dimaksudkan untuk membebaskan dari dunia material. Kaum sufi mengenalnya dengan istilah tajarrud. Maksudnya, suatu metode untuk membebaskan diri dari hal-hal yang bersifat material ke hal-hal yang bersifat spiritual. Alat-alat musik menjadi sarana atau medium untuk naik ke alam kerohanian. Kaum sufi lebih menghargai seni ketimbang yang lain, Karena kaum sufi berpikir kalau orang lebih menghargai syariah, maka orang akan melupakan akidah, ibadah, dan akhlak. Dan seni, bagi kaum sufi, dimaknai sebagai media untuk meningkatkan pengalaman-pengalaman kerohanian dan keagamaan yang tidak diperoleh melalui ritual-ritual lainnya. Dalam pandangan kaum sufi, Syariah adalah wadah dari pengalaman-pengalaman kerohanian. Syariah Nabi diperoleh ketika Nabi mengalami peristiwa Mi’raj yang dikatakan sebagai pengalaman makrifat yang paling tinggi dalam Islam. Misalnya juga tarekat Maulawiyah yang berkembang di wilayah Turki yang menggunakan sarana berputar-putar. Pada waktu tari atau gerakan berputar itu dilakukan, ia ditujukan untuk meraih atau mencapai suatu ekstase, mereka menjadi semakin kreatif. Tetapi bentuk-bentuk ekstase biasanya berbeda-beda, karena tertuju dalam tafakur (kontemplasi).
Bukti yang paling gampang adalah perbedaan antara gamelan Jawa dan gamelan Bali. Setelah disentuh oleh para wali yang mengembangkan Islam dengan mengakomodasi budaya lokal, dan memolesnya dengan estetika Islam yang bertujuan untuk tafakur, maka gamelan Jawa menjadi sangat lembut dan meninggi ke angkasa. Sementara, gamelan Bali sangat ornamentik, dan eksotik karena musik-musik ini dipakai untuk persembahan kepada dewa-dewa.
Lihat saja perbedaan antara gamelan Sunda, Jawa atau Madura yang mayoritas Islam dibandingkan dengan yang lain. Begitu juga wayangnya. Wayang di Jawa hanya berbentuk dua dimensi, sementara di Bali, Wayang tetap berwujud tiga dimensi.
Sikap Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini. Tuhan menyatakan bahwa ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan Tuhan itu ada di seluruh alam semesta dan di dalam diri manusia.
Kesenian selalu memberikan tempat atau jalan tentang adanya alam rohani dalam diri manusia. Di situlah keimanan berada. Keimanan ada di dalam alam rohani, bukan alam material ini. Bukan jasad kita yang beriman, tapi kalbu kita. Karenanya, kalbu ini harus dididik, salah satunya lewat kesenian. Jadi bukan hanya tubuh yang dibuat disiplin, tapi juga kalbu.
Apakah kesenian selama ini sudah dioptimalkan untuk “mendidik” religiusitas? Sebagian sudah. Pada masa lalu, pembacaan karya sastra, syair-syair, cerita-cerita dan lain-lain. Islam sendiri tidak bisa menolak kenyataan bahwa al-Qur’an menjadi sumber inspirasi dari lahirnya karya-karya kesenian. Seni tilawah misalnya adalah mengambil dari al-Qur’an sendiri. Kiraat dan bahkan azan sendiri adalah kesenian. Kita bisa terpancing datang ke masjid ketika azan dilantunkan dengan suara merdu. Kalau tidak enak azannya, biasanya kita enggan datang ke sana.
Selama ini kita mengenal pembagian antara akidah, syariah, dan akhlak. Agaknya kesenian tidak diberi tempat dalam kategorisasi itu?
Ya benar. Tapi kesenian bisa diposisikan sebagai penguat dalam sistem peribadatan itu. Atau, dalam pengembangan intelektualitas dan spiritualitas. Dalam konteks ini, kesenian bisa memasuki wilayah akhlak karena akhlak tidak hanya diartikan etika atau moral saja, tapi suatu keadaan hati yang baik sehingga mempengaruhi perilaku ke arah yang lebih baik. Dan kesenian bisa mendidik melalui kalbu. Masalahnya sekarang bagaimana orang Islam sadar bahwa ada tiga budaya yang kurang berkembang, yakni pertama, budaya ilmu atau intelektual. Orang Islam kurang memberi perhatian pada masalah ini sehingga pemahaman kognitif terhadap agama dan lainnya menjadi kurang. Kedua, budaya kewirausahaan (entrepenuership). Dahulu umat Islam dikenal karena hudaya dagang ini, sekarang tidak berkembang dan tidak bisa memainkan peranan dalam peradaban. Dan ketiga, adalah budaya kreativitas seni. Sebagai contoh, pentingnya seni itu begini: Kalau kita berpikir secara matematis, kertas paling banter buat bungkus atau menulis. Tapi kalau berpikir estetik, kertas bisa dibikin patung dan lain-lain.
Saya ingat Mohammad Iqbal 70 tahun yang lalu mengatakan: bahwa agama Islam menjadi timbunan abu yang dingin dan gelap dan tidak memiliki eksistensi yang cemerlang seperti masa lalu kalau kesenian dibungkam. Hukumnya pun mengikuti abad pertengahan yang feodal, falsafahnya tidak dikembangkan dan juga ilmu kalamnya tidak dibongkar. Banyak hal yang berkenaan dengan teologi kita yang sumpek. Intinya, harus mengalami dekonstruksi sekaligus rekonstruksi karena mazhab-mazhab agama hanyalah penafsiran terhadap ajaran Islam. Ahli fikih hanya menafsirkan berdasarkan hukum yurisprudensi.
Mengapa bentuk-bentuk kesenian Islam tampak terbatas. Apakah lagu-lagu Sherina bukan kesenian Islam? Itu masih menjadi persoalan. Memang unsur-unsur Arab sulit ditinggalkan dalam kesenian Islam. Begitu juga unsur-unsur India melekat dalam kesenian Hindu. Atau juga unsur-unsur gregorian Kristen yang berkembang dalam kesenian di Barat. Akan tetapi, harus dikatakan bahwa tidak selalu yang berbau kearaban atau keparsian itu pasti Islam. Karena banyak sekali lagu-lagu Arab yang tidak Islami. Misalnya lagu Fairuz dan lain-lain. Pandangan nilai atau estetik (weltanschauung) seni Islam itu bersemangat, sementara bentuknya di mana-mana sama. Misalnya makanan yang Islami dengan bukan, paling banter dibedakan apakah itu babi atau bukan, disembelih atas nama Tuhan atau tidak. []

No comments: